Kamis, 07 Juni 2012

“ SISTEM INSTRUKSIONAL “ DALAM PERENCANAAN PEMBELAJARAN Oleh : Pujianto & M. Luthfi

“ SISTEM INSTRUKSIONAL “ DALAM PERENCANAAN PEMBELAJARAN
Oleh : Pujianto & M. Luthfi
program studi pendidikan bahasa arab

PENDAHULUAN
Mengajar merupakan pekerjaan professional yang tidak bisa lepas dari berbagai macam problema, apalagi yang dihadapi masyarakat yang dinamis. Guru sebagai pendidik dan pengajar dalam melaksanakan tugasnya sering menemukan problema-problema yang dari waktu kewaktu selalu berbeda, apalagi bila dihubungkan dengan keperluan perorangan atau kemasyarakatan, maka keanekaan problematika tersebut makin luas. Sabenarnya problematika tersebut datang dari implikasi dinamika masyarakat itu sendiri, yaitu menunjukkan hidup manusia menuntut kemajuan-kemajuan yang perlu dipenuhi oleh masyarakat itu sendiri. Akan tetapi problema yang menuntut kepada penelitian yang cermat mengenai sumber-sumber penyebabnya dan akibat-akibat apa yang akan timbul bila tidak terselesaikan.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya, guru mempunyai banyak problema yang terkait dengan anak didik, kurikulum, metode pengajaran, dan tuntutan umum yang lainnya. Dari berbagai dinamika dan problem-problem diatas, guru masih dituntut untuk bersikap professional, walaupun tidak didukung dengan sarana yang layak, jadi disini kerja guru ekstra atau harus bekerja secara optimal.[1]

RUMUSAN MASALAH
  1. Apa yang dimaksud dengan sistem instruksional ?

PEMBAHASAN
Pengertian Sistem Instruksional
A.                Pengetian Sistem lnstuksional
Sistem lnstuksional terbentuk oIeh dua konsep System dan instruction. System yang untuk selanjutnya diterjemahkan menjadi sistem (dibaca sistem) oleh Wong dan Raulerson (1973:9) diartikan sebagai a set of parts united by some form of interaction (artinya: suatu perangkat dan bagian-bagian yang diikat atau dipersatukan oleh beberapa bentuk hubungan saling mempengaruhi).
Instruction yang diterjemahkan menjadi pembelajaian atau pengajaran dan bahan instruksi dalam arti perintah, oleh Saylor dan Alexander (1976) diartikan sebagai pelaksanaan kurikulum (curriculum implementation) atau dalam pengertian yang lebih khusus, instrution merujuk pada proses belajar-mengajar teching-learning-prosess).[2]
Bertolak dari konsep-konsep tersebut istilah sistem instruksional digunakan untuk menunjukkan suatu proses belajar-mengajar atau proses pengajaran atau lebih tepat lagi proses pembelajaran. Dibandingkan dengan sistem yang lain lebih-lebih sistem yang bersifat alami seperti sistem tata surya, sistem instruksional memiliki ciri yang khas, yaitu adanya tujuan (purpose, goal, objectives).
Sistem instruksional sekurang-kurangnya memiliki dua dimensi yaitu dimensi rencana (a plan) dan dimensi proses yang nyata (a reality). Dalam dimensi rencana sistem instruksional merujuk pada prosedur atau langkah-langkah yang seyogianya dilalui dalam mempersiapkan terjadinya proses belajar mengajar. Dalam dimensi realitas sistem instruksional merujuk pada interaksi kelas atau “the classroom system” menurut konsep Wong dan Raulerson (1973) kedua dimensi itu secara konseptual merupakan suatu sistem kurikulum yang dengan sendirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan.[3]
Model sistem instruksional adalah metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yang sering dipakai oleh banyak tenaga pengajar, model instruksional yaitu suatu model yang terdiri atas empat komponen yang secara hakiki berbeda satu sama lainnya, model ini menitikberatkan pembuatan keputusan intelektual oleh guru sebelum dan sesudah pengajaran dan oleh karenanya, sebenarnya lebih berupa suatu model perencanaan dan penilaian dari suatu model “prosedur mengajar” pertama menentukan tujuan-tujuan instruksional secara spesifik dalam bentuk perilaku siswa.
Kedua mengadakan penilaian pendahuluan terhadap keadaan siswa pada saat ini dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan instruksional tersebut. Dan ketiga menilai pencapaian tujuan-tujuan tersebut oleh siswa.[4]
            Jadi, sistem instruksional merupakan tatanan aktivitas belajar mengajar yang mengandung dimensi perencanaan kegiatan belajar mengajar. Sebagai perencanaan dan pelaksanaan sistem instruksional merujuk pada langkah – langkah yang sebaiknyaditempuh dalam menetapkan tujuan, isi, proses dan evaluasi pengajaran.[5]
B.                 Ciri – Ciri Sistem Instruksional
Pada hakikatnya proses belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berinteraksi dan kerja sama secara terpadu dan harmonis dalam mencari tujuan belajar mengajar. Agar seluruh komponen dalam sistem belajar mengajar tersebut dapat berdaya guna secara efektif, maka guru sebagai seseorang yang bertugas sebagai pengelola belajar mengajar hendaknya mampu merencanakan, mengembangkan dan mengevaluasi terhadap seluruh komponen dalam sistem belajar mengajar atau guru harus mampu melakukan usaha pengembangan sistem instruksional.
Sedangkan untuk mendukung tercapainya pengembangan sistem instruksional, perlu mengetahui ciri – ciri dari sistem instruksional yang bisa dilihat dalam penjabaran fungsi, tujuan dan komponen dalam sistem instruksional.
Fungsi Sistem Instruksional
  • Sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, dalam rangka perbaikan situasi pengajaran dan pendidikan.
  • Sebagai pedoman guru dalam mengambil keputusan instruksional, yang meliputi :
    • Mengidentifikasi kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
    • Menentukan tujuan instruksional.
    • Menentukan strategi belajar mengajar.
    • Menentukan materi pelajaran.
    • Menentukan materi dan alat peraga.
    • Menentukan evaluasi pengajaran.
  • Sebagai alat pengontrol atau evaluasi, kesesuaian antara perencanaan instruksional dengan pelaksanaan belajar mengajar.
  • Sebagai balikan atau feed back bagi guru tentang keberhasilan pelaksanaan belajar mengajar, dalam rangka melakukan perbaikan situasi pengajaran dan pendidikan.
Tujuan sistem instruksional

Model Pengembangan Sistem Instruksional
            Secara umum istilah “ model ” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman aatau acuan dalam mel;akukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain “ model “ juga diartikan sebaagai barang aatau benda tiruan dari benda sesungguhnya.
            Sedangkan sistem instruksional dibentuk oleh dua konsep, yaitu “ sitem “ dan “ instruksional “.  Syistem “ yang untuk selanjutnya diterjemahkan menjadi “sistem” (dibaca sistem) oleh Wong dan Raulerson (1973:9) diartikan sebagai “a set of parts united by some form of interaction” (artinya: suatu perangkat dari bagian-bagian yang diikat atau dipersatukan oleh beberapa bentuk hubungan saling mempengaruhi). Contohnya sistem tata surya, sistem pencernaan, sistem kekerabatan, sistem telepon. “instruction” yang diterjemahkan menjadi “pembelajaran atau pengajaran” dan “bahan instruksi” dalam arti perintah, oleh Saylor dab Alexander (1976) diartikan sebagai pelaksanaan kurikulum (curiculum implementation) atau dalam pengertianyang lebih khusus “instruction” merujuk pada “proses belajar mengajar” (teaching-learning process). Bertolak dari konsep-konsep tersebut istilah “sistem instruksional” digunakan untuk menunjukkan suatu “proses belajar mengajar” atau “proses pembelajaran”. Dibandingkan dengan sistem yang lain lebih-lebih sistem yang bersifat alami seperti sistem tata surya, sistem instruksional memiliki ciri khas, yaitu adanya “tujuan” (purpose, goal, objectives). Hal ini tentu dapat anda pahami karena seperti telah anda pelajari dalam modul pertama adanya tujuan merupakan ciri utama dari proses pendidikan.di samping itu ada dua unsur lainnya yakni komponen dan proses . antara tujuan tujuan komponen, dan proses terdapat hubungan yang saling menentukan seperti dapat digambarkan sebagai berikut:
            Sistem instruksional sekurang- kurangnya memiliki dua dimensi yaitu dimensi rencana (a plan) dan dimensi proses yang nyata (a reality). Dalam dimensi rencana sistem instuksional merujuki pada prosedur atau langkah-langkah yang seyogianya dilalui dalam mempersiapkan terjadinya proses belajar-mengajar. Dalam dimensi realita sistem instruksional merujuk pada interaksi kelas atau “the classroom system” menurut konsep Wong atau Raulerson (1973) kedua dimensi itu secara konseptual merupakan suatu sistem kurikulum yang dengan sendirinya merupakan bagian  yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan.
            Agar lebih jelas keterpautan sistem-sistem tersebut dapat dilukiskan secara diagramatik sebagai berikut:

PENUTUP
Guru adalah sentralitas bagi proses pendidikan, baik dan buruknya adalah guru yang mengarahkanya. Sehingga dalam perjalanan prosesnya guru mengalami banyak kendala yang pada hakikatnya adalah implikasi kedinamisan masyarakat yang terus berkembang dari waktu-kewaktu. Keberhasilan proses pengajaran anak didik tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan pribadi guru secara totaliter, semua yang terkait dengan proses pengajaran harus mau dan mampu membantu guru dalam menghadapi problematika yang mereka hadapi.
Dalam perjalanan pemecahan problematika guru, pada hakekatnya merupakan masalah yang menyeluruh dalam kehidupan manusia. Semua tergantung dari respect guru terhadap permasalahan tersebut dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain serta lingkungan, kebutuhan akan kestabilan emosi, rasa cinta, serta prospek masa depan yang jelas adalah kunci awal bagi seorang guru.
Dari kutipan pembahasan yang ada didalam makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa sistem instruksional yang baik adalah yang bisa digunakan dengan sebaik mungkin oleh pengajar atau tenaga pendidikan dikelola secara jelas dalam proses pembelajaran.[6]





[2] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, ( Jakarta: RINEKA CIPTA, 2006 ), hlm. 51-52.
[5] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, ( Jakarta: RINEKA CIPTA, 2006 ), hlm. 55.

Sabtu, 21 April 2012

“METODE LANGSUNG (MUBASYAROH)”


“METODE LANGSUNG (MUBASYAROH)”
Oleh :
Pujianto
jurusan Pendidikan Bahasa Arab

I.                   PENDAHULUAN
Bahasa Arab (asing) berbeda dengan belajar bahasa ibu, oleh karena itu prinsip dasar pengajarannya harus berbeda, baik menyangkut metode (model pengajaran), Bahasa Arab meliputi kemampuan menyimak (listening competence/mahaarah al materi maupun proses pelaksanaan pengajarannya. Bidang keterampilan pada penguasaan – Istima’), kemampuan berbicara (speaking competence/mahaarah al-takallum), kemampuan membaca (reading competence/mahaarah al-qira’ah), dan kemampuan menulis (writing competence/mahaarah al – Kitaabah).
Setiap anak manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menguasai setiap bahasa, walaupun dalam kadar dan dorongan yang berbeda. Adapun diantara perbedaan-perbedaan tersebut adalah tujuan-tujuan pengajaran yang ingin dicapai, kemampuan dasar yang dimiliki, motivasi yang ada di dalam diri dan minat serta ketekunannya.[1]
Maka berangkat dari sinilah kami mencoba untuk mengupas secara singkat tentang metode mubasyaroh( langsung ) dalam makalah ini. Karena kami merasa bahwa penting sekali dalam penggunaan sebuah metode untuk diterapkan dalam pembelajaran yang berkaitan dengann bahasa.
II.                PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Munculnya Metode Langsung (Mubasyaroh)
Metode langsung dikembangkan oleh carles berlitz, seorang ahli dalam pengajaran bahasa , di Jerman menjelang abad ke-19. Faktor kemunculannya dilatarbelakangi oleh penolakan atau ketidakpuasan terhadap metode tata bahasa dan tarjamah.pada saat itu memang metode tata bahasa dan terjemah merupakan metode pengajaran bahasa kedua dan asing yang populer. Akan tetapi ditengah kepopulerannya muncul banyak ketidak puasan di banyak kalangan, sehingga muncullah kritik bahkan penolakan terhadap metode ini. Secara lebih rinci faktor-faktor itu adalah :
a.       Pada saat penduduk eropa semakin bertambah, tingkat komunikasi mereka semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan kebutuhan mereka untuk menguasai satu bahasa ( misall, bahasa Inggris) sebagai Lingua Franca secara aktif dan produktif semakin mendesak. Buku-buku sumber yang ditemukan pada waktu itu kurang memuaskan mereka, karena pada umumnya tidak mengajarkan penggunaan bahasa tujuan secara praktis dan efektif, melainkan berbicara tentang bahasa tujuan.
b.      Dibeberapa negara Eropa pada waktu itu, pendekatan-pendekatan baru pada pengajaran bahasa tujuan yang dicetuskan oleh para ahli pengajaran bahasa secara terpisah-pisah memberikan ide kepada guru bahasa tujuan untuk mengangkat metode lain yang dipandang lebih baik untuk mengajarkan bahasa tujuan. Hal ini membuka jalan mereka untuk memunculkan metode langsung.
Meskipun metode langsung merupakan reaksi kuat terhadap metode tata bahasa dan terjemah, namun orang-orang telah lebih dulu menggunakannya dalam mengajarkan bahasa asing. Nababan, menyebutkan bahwa penggunaannya telah berlangsung sekitar abad ke-15 ketika para pemuda Romawi diberi pelajaran bahasa Yunani oleh guru-guru bahasa dari Yunani. Namun penggunaan metode langsung pada waktu itu tidak benar-benar sebagai metode langsung. Kelangsungannya dapat dikatakan tidak murni seratus persen. Sebab dalam beberapa hal masih menggunakan bahasa ibu dan kedua. Baru mulai tahun 1920-an beberapa ahli pengajaran yang secara terpisah menggunakan metode langsung secara murni dan sistematis.[2]
B.     Pengertian Metode Langsung (Mubasyaroh)
Metode Langsung (Mubasyaroh) merupakan metode yang memprioritaskan pada ketrampilan berbicara. Metode ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa dari metode sebelumnya (gramatika tarjamah), yang dipandang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang mati. Seruan-seruan yang menuntut adanya perubahan-perubahan mendasar dalam cara pembelajaran bahasa itu mendapatkan momentumnya pada awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika, serta digunakan baik di Negara Arab maupun di negara-negara Islam Asia termasuk Indonesia pada waktu yang bersamaan.
Sebagai suatu reaksiproaktif terhadap  metode gramatika tarjamah, maka karakteristik dari metode ini adalah: a) memberI prioritas yang tinggi pada ketrampilan berbicara sebagai ganti ketrampilan membaca, menulis dan menerjemah, b) basis pembelajarannya terfokus pada teknik demontrastif; menirukan dan menghafal langsung ddimana murid-murid merngulang kata, kalimat, dan percakapan melalui asosiasi, konteks dan definisi yang diajarkan se ara induktif yaitu berangkat dari contoh-contoh kemudian diambil kesimpulan, c) menghindari penggunaan bahasa ibu pelajar, d) kemampuan komunikasi lisan dilatih secara cepat melalui Tanya jawab yang terencana dalam pola interaktif yang bervariasi, e) interaksi antara guru dan murid terjalin secara aktif,
Jadi, pada dasarnya metode ini berangkat dari satu asumsi dasar, bahwa pembelajaran bahasa asing tidaklah jauh berbeda dengan belajar bahasa ibu, yaitu dengan penggunaan bahasa secara langsung dan intensif dalam komunikasi keseharian, diman tahapannya bermula dari mendengarkan kata-kata, menirukan secara lisan, sedangkan mengarang dan membaca dikembangkan kemudian. Metode ini berorientasi pada pembentukan ketrampilan pelajar agar mampu berbicara secara spontanitas dengan tatabahasa yang fungsional dan berfungsi untuk mengontrol kebenaran ujarannya hingga mirip penutur aslinya.[3]
C.     Pembagian Metode Langsung (Mubasyaroh)
Ada tiga metode yang sangat lekat dengan metode langsung (Mubasyaroh), bahkan merupakan bagian yang berkesinambungan dalam metode tersebut. Meski pada prinsipnya ketiga metode tersebut tidak ada perbedaan. Namun ketiganya memiliki titik tekan yang dalam penggunaan bahasa asing yang dipelajari secara langsung dalam proses belajar mengajar, maka penggunaan bahasa ibu atau kedua sedapat mungkin dihindari. Menurut Al-Naqhoh ketiga metode itu adalah:
1.      metode psikologi (al-thoriqoh al-sikulujiyyah)
Disebut metode psikologi, karena proses pembelajarannya didasarkan atas pengamatan perkembangan mental dan asosiasi pikiran.  Beberapa cirri yang melekat pada metode ini antara lain:
a)      penggunaan benda, diagram, gambar & chart untuk menciptakan gambaran mental dan menghubungkannya dengan kata-kata yang diucapkannya.
b)      Kosa kata dikelompokkan kedalam ungkapan-ungkapoan pendek yang berhubungan dengan satu masalah yang masih satu pelajaran. Beberapa pelajaran dikumpulkan dalam satu bab sedangkan kumpulan beberapa bab membentuk satu seri.
c)      Pelaran mula-mula diberikan secara lisan, kemudian diberikan bagian demi bagian berdasarkan materi dalam buku.
d)     Jika sangat diperlukan, bahasa pelajar dapat digunakan.
e)      Pelajaran mengarang baru diperkenalkan setelah diberikan beberapa pelajaran terlebih dahulu.
2.      metode fonetik (al-thoriqoh al-shautiyyah)
metode ini dikenal juga dengan metode ucapan (al-thoriqoh al-nuthqiyyah). Disebut metode fonetik karena materi pelajaran ditulis berdasarkan fonetik, bukan ejaan seperti yang lazim digunakan. Dalam prakteknya metode ini mengawali proses pembelajaran dengan latihan pendengaran terhadap bunyi. Setelah itu dilanjutkan dengan latihan pengucapan kata, kalimat pendek, dan akhirnya kalimat yang lebih panjang. Selanjutnya kalimat-kalimat itu dirangkaikan menjadi sebuah percakapan atau cerita. Gramatika diajarkan secara induktif, sedangkan mengarang terdiri atas penampilan kembali tentang apa yang didengar dan dibaca.
3.      metode alamiah (al-thoriqoh al-thobi’iyyah)
Metode ini merupakan kelanjutan dari metode fonetik. Disebut metode alamiah karena belajar bahasa asig disamakan seperti bahasa ibu. Belajar bahasa ibu biasanya didasarkan pada prilaku atau kebiasaan sehari-hari yang berlangsung secara alamiah. Karena itu terkadang metode alamiah disebut sebagai metode kebiasaan (al-thoriqoh al-‘adiyyah). Di dalam belajar bahasa ibu seorang anak mulai menyerap bahasa dengan menyimak dan meniru bahasa yang digunakan oleh orang dewasa, lalu ia mengucapkan apa yang telah disemak secara berulang-ulang. Di dalam prakteknya ada beberapa hal yang membedakannya dengan metode lain, diantaranya:
a)      mendasarkan teori pada kebiasaan anak-anak dalam mempelajari bahasa ibunya.
b)      Langkah pertama pengajaran adalah bunyi (tanpa buku) dilanjutkan kemudian oleh pengenalan kata dan kalimat secara lisan yang dulengkapi oleh pengenalan benda dan gambar.
c)      Kata dan istilah baru, diajarkan melalui kata-kata yang telah dikenal sebelumnya.
d)     Gramatika digunakan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan.
e)      Penggunaan kamus untuk membantu mengingat kata-kata yang sudah dilupakan.[4]
D.    Kekurangan dan Kelebihan Metode Langsung (Mubasyaroh)
Setiap metode tentunya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Begitu juga dengan metode mubasyaroh yang lahir dari ketidakpuasannya terhadap metode sebelumnya, juga tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihannya.
Diantara aspek kelebihannya sebagai berikut:
a)      Dengan kedisiplinan mendengarkan dan menggunakan pola-pola dialog secara teratur, maka para pelajar bisa terampil dalam menyimak dan berbicara.
b)      Dengan banyaknya peragaan/demonstrasi, gerakan, penggunaan gambar, bahkan belajar dialam nyata para pelajar bias mengetahui banyak kosa kata.
c)      Dengan banyak latihan pengucapan secara ketat dalam bimbingan guru, maka para pelajar bias memiliki lafal yang relative mendekati penutur asli.
d)     Para pelajar mendapat banyak latihan dalam bercakap-cakap khususnya mengenai topik-topik yang sudah dilatih dalam kelas, dapat membantu mereka dalam menganalogikan pola-pola percakapandalam topic-topik lain.
Sedangkan dari aspek kekurangan metode ini sebagai berikut:
a)      Metode ini memiliki prinsip-prinsip yang munkin dapat diterima oleh sekolah-sekolah yang jumlah pelajarnya tidak banyak.
b)      Metode ini menuntut para guru yang mempunyai kelancaran berbicara seperti penutur asli.
c)      Metode ini mengandalkan kemahaiaran guru dalam menyajikan materi, bukan buku-buku teks yang baik.
d)     Metode ini menghindari penggunaan bahasa ibu dan bahasa kedua atau terjemahan. Hal ini justru bisa menghambat kemajaun pelajar, sebab banyak waktu dan tenaga terbuang dalam menerangkan kata yang abstrak( tidak bias digambarkan) atau konsep tertentu dalam bahasa asing.[5]   
E.     Aplikasi Metode Langsung (Mubasyaroh)
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan Metode Mubasyaroh, Sebagai gambaran dalam mata pelajaran Bahasa Arab dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Guru memulai penyajian materi secara lisan, mengucapkan satu kata denganmenunjuk bendanya atau gambar benda itu, memeragakan sebuah benda itu,memeragakan sebuah gerakan atau mimic wajah. Pelajar menirukan berkali-kalisampai benar pelafalannya dan faham maknanya.
2.      Latihan berikutnya berupa Tanya jawab dangan kata Tanya “ma, hal, ayna” dansebagainya, sesuai dengan tingkat kesulitan pelajaran, berkaitan dengan kata-kata yang telah disajikan. Model interaksi bervariasi, biasanya dimulai denganklasikal dan akhirnya individual, baik guru-siswa maupun antar siswa.
3.      Setalah guru yakin bahwa siswa menguasai materi yang disajikan, baik dalam pelafalan maupun pemahaman makna, siswa diminta membuka buku teks. Gurumemberikan contoh bacaan yang benar kemudian siswa diminta membaca secara bergantian.
4.      Kegiatan berikutnya adalah menjawab secara lisan pertanyaan atau latihan yangada dalam buku, dilanjutkan dengan mengerjakannya secara tertulis.
5.      Bacaan umum yang sesuai dengan tingkatan siswa diberikan sebagai tambahan, misalnya berupa cerita humor, cerita yang mengandung hikmah dan bacaan yang mengandung ungkapan –ungkapan indah. Karena pendek dan menarik, biasanya siswa menghafalnya di luar kepala.
6.      Tata bahasa diberikan pada tingkat tertentu secara induktif.[6] 

III.             SIMPULAN
Menjelang abad ke-19 di Jerman Metode langsung ini dikembangkan oleh carles berlitz, seorang ahli dalam pengajaran bahasa. Metode Langsung (Mubasyaroh) merupakan metode yang memprioritaskan pada ketrampilan berbicara. Dan muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap hasil pengajaran bahasa dari metode sebelumnya (gramatika tarjamah), yang dipandang memperlakukan bahasa sebagai sesuatu yang mati. Metode Mubasyarah dibagi menjadi tiga: metode psikologi (al-thoriqoh al-sikulujiyyah), metode fonetik (al-thoriqoh al-shautiyyah), metode alamiah (al-thoriqoh al-thobi’iyyah). Metode ini mempunyai kelebihan diantaranya yaitu dengan kedisiplinan mendengarkan dan menggunakan pola-pola dialog secara teratur, maka para pelajar bisa terampil dalam menyimak dan berbicara dan juga mempunyai kekurangan antara lain, menuntut para guru yang mempunyai kelancaran berbicara seperti penutur asli.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Acep Hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011.
Radliyah Zaenuddin, Metodologi & Strategi Alternatif PEMBELAJARAN BAHASA ARAB, Yogyakarta: PUSTAKA RIHLAH GROUP, 2005.
Ahmad Fuaf Effendy,Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2004.



[2] Acep Hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011) hlm. 175-176.

[3] Radliyah Zaenuddin, Metodologi & Strategi Alternatif PEMBELAJARAN BAHASA ARAB, Yogyakarta: PUSTAKA RIHLAH GROUP, 2005) cet. 1 hlm. 39-40
[4] Acep Hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011) hlm. 179-180
[5] Acep Hermawan, metodologi pembelajaran bahasa arab, ( Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011) hlm. 183
[6] Ahmad Fuaf Effendy,Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2004), Hlm.35